Beberapa hari belakangan ini beberapa orang teman sedang ramai membahas ibadah-ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (baca: bid'ah), khususnya yang sering juga ane lakukan dulu waktu masih ikut tarekat-tarekat dan belum belajar Islam lebih dalam. Diantara yang dibahas adalah sholat hadiah dan melaksanakan ibadah di kuburan. Yang ingin ane kemukakan disini bukan hasil pembahasan kami beberapa hari belakangan, melainkan sebuah pemikiran yang menghantui saya beberapa bulan ini dan belum sempat dikeluarkan. Setelah melakukan muhasabah diri, mengingat-ingat bagaimana dulu ketika masih menjadi orang yang malas menuntut ilmu agama, saya sampai pada kesimpulan, bahwa ketika ane melaksanakan ibadah yang tidak ada tuntunan yang shahih dari pembawa ajaran agama ini, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, ane cenderung menyepelekan dengan ibadah-ibadah yang benar-benar ada tuntunannya, dan merasa ane sudah cukup berislam dengan mengerjakan
Saya dan adik-adik, terutama yang nomer 3, sering sekali ditanya dalam banyak kesempatan, "nyantri dimana?". Pertanyaan yang agak aneh menurut saya, karena mengindikasikan seseorang yang memiliki pengetahuan agama itu hanya dari kalangan pesantren saja. Padahal saya dan adik-adik tidak pernah makan bangku pesantren (jangankan makan bangkunya, datang ke pesantren saja tidak). Sering juga jika sedang kumpul di rumah, karena semua membantu berjualan di warung, orang pun berkomentar "pintarnya anak pian ini, bu. Rajinnya mendangani kuwitan (pintarnya anak ibu ini, rajin membatu orang tua - bahasa banjar). Ibu dan ayah saya biasanya menjawab pertanyaan ini dengan tersenyum dan bertahmid. Tapi disini biar saya ceritakan latar belakang keluarga kami, siapa tahu bisa bermanfaat buat para orang tua dan calon orang tua yang sering bertanya-tanya seperti di atas.