Pernahkah Anda merasa begitu gundah? Kehilangan arah kemana langkah diayunkan? Lalu tiba-tiba segalanya menjadi kacau? Hampir semua orang pernah mengalami masa-masa sulit itu. Ibarat air laut, hidup ini kadang pasang naik, kadang pasang surut. Ibarat samudera luas, kadang gelombangnya bergulung-gulung, kadang ia berubah sangat tenang. Seperti juga roda yang selalu berputar, kadang hidup kita di atas, di lain waktu berpindah ke bawah.
Bisa jadi kita menganggap itu semua hanya rutinitas hidup belaka. Ya, itu hanya rutinitas tak berarti bila kita memang tak bisa mencari arti di balik semua itu. Itu hanya mekanisme alam, yang tak menyimpan rahasia apa-apa, bila kita tidak mencari tahu rahasianya apa.
Lalu, apa arti dan rahasia dari semua itu?
Banyak sekali. Yang paling mendasar di antaranya, bahwa di balik rutinitas itu ada hubungan istimewa antara kita dengan Allah. Antara hamba dengan sang Pencipta-Nya. Yaitu bahwa kita sangat lemah dan Allah sangat Maha Perkasa. Bahwa kita memerlukan pertolongan Allah, sedang Allah tak perlu sedikitpun kepada kebaikan kita. “Dan manusia telah diciptakan dalam keadaan yang lemah.” Dalam soal rezeki, Allah berfirman, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaaan Allah) bagi kaum yang beriman.”(QS. Ar-Rum: 37).Dalam soal kebersihan diri Allah berfirman, “Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam soal memberi petunjuk, Allah berfirman, “Dialah Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya, me-nyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya.” Tentang hamparan bumi dan langit yang indah, Allah befirman, “Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain). Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).”
Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (Qs. An-Naml: 60 -61).
Dengan melapangkan kesusahan, Allah berfirman, “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-(Nya).” “Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang me-reka persekutukan (dengan-Nya). (Qs. An-Naml: 62 – 63)
Tentang kunci segala yang gaib la berfirman, “Katakanlah, “tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah.” (Qs. An-Naml; 64)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa tak ada ruang kehidupan yang bisa lepas dari kekuasaan Allah. Tak ada makhluk yang bisa lepas dari bergantung kepada Allah, tidak juga manusia. Tetapi tidak semua mereka menyadari hal ini, meski mungkin saja ia tahu. Gelombang fitnah dunia yang dahsyat, telah banyak menghanyutkan mereka dari rel yang semestinya. Menyikapi ketergantungan kepada Allah tersebut, setidaknya manusia terbagi menjadi lima macam:
1. Merasa tidak perlu sama sekali.
Orang-orang tipe ini tidak merasa perlu kepada Allah, sedikitpun. Kalaupun ada saat-saat dimana ia melihat kekuasaan Allah terjadi, ia tetap akan mencari pembenaran lain. Orang dengan tipe seperti ini sebenarnya telah mati sebelum ia mati. Mereka sama sekali tidak merasa perlu kepada Allah. Sejak dulu hingga kini tipe manusia ini banyak bertebaran. Bedanya, bila dulu lebih banyak karena jahil atau takabbur, kini banyak orang menentang Allah dan tidak merasa perlu kepada-Nya karena merasa sudah cukup dengan peradaban yang dicapai. Teknologi dan perkembangan ilmu telah menuhankan akal mereka, sekaligus hawa nafsu mereka.
Kaum ‘Aad, misalnya, bukan saja mereka tidak merasa perlu kepada Allah, bahkan ketika mereka disuruh menyembah Allah agar terhindar dari azabnya, mereka malah menantang, “Mereka menjawab, “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari (menyembah) tuhan-tuhan kami? Maka datangkan kepada kami azab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Ahqaf: ). Tabiat kaum ‘Aad ini juga terjadi pada kaum-kaum lain dari umat-umat terdahulu.
Kini, dalam kapasitas pribadi maupun bangsa, juga banyak tipe orang-orang yang merasa sama sekali tidak perlu kepada Allah. Anak-anak muda pecandu narkoba yang dengan enteng mengatakan bahwa soal mati tak perlu dipikirkan. Atau pria-wanita yang sehari-hari tenggelam dalam lumpur dosa, dengan ringan dan tanpa beban. Pejabat dan penguasa yang mencuri, merampok, menilap, merampas hak, menzalimi orang lain, gadis-gadis yang mengumbar murah kehormatan dirinya, manusia-manusia yang berperilaku binatang, bangsa-bangsa ‘beradab’ yang membunuh ribuan nyawa demi ambisi politiknya.
Pada masa PKI masih ada di negeri ini, seringkali para senimannya mementaskan drama atau sejenisnya dengan lakon yang aneh-aneh. Misalnya, seperti yang terjadi di Jawa, ada tema pentas berjudul "Gusti Allah Menantu", di kali lain, “Matinya Gusti Allah".
Sementara pada tahun-tahun yang tak berselang jauh dengan masa PKI di Indonesia, nun jauh di sana, di negeri Mesir, ada seorang algojo penjara terkenal. Namanya Hamzah Al-Baisuni. Ia menjadi salah, satu penyiksa aktifis-aktifis dakwah yang ditangkap tanpa dosa. Mereka tabah dan selalu menyebut asma Allah. Maka muncul ucapan Baisuni yang tetap dikenang sejarah, “Bila Allah turun di sini, niscaya akan saya masukkan ke dalam sel juga."
Itu hanyalah sedikit contoh tipe orang-orang yang sama sekali merasa tidak perlu kepada Allah. Mungkin mulanya hati mereka ada yang terusik, namun lama kelamaan lumpur dosa membutakan hati mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hamba berbuat dosa, maka akan ada satu titik hitam di dalam hatinya. Apabila ia meninggalkannya, bertaubat dan beristighfar, titik itu akan terlepas. Bila ia kembali lagi, akan kembali pula titik itu, hingga menutupi seluruhnya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi).
Akhirnya, orang-orang yang tidak merasa perlu kepada Allah itu pun diabaikan oleh Allah, sedang di akhirat diancam dengan azab yang pedih. “… lalu mereka ingkar dan berpaling. Dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. At-Taghabun: 6) Bagaimana dengan kita?
2. Merasa perlu hanya pada saat-saat sulit.
Tipe kedua ini adalah orang-orang yang hanya merasa perlu kepada Allah ketika ditimpa kesulitan. Tapi pada saat lapang ia akan kembali lupa dan lengah. Dalam kehidupan sehari-hari, tipe kedua ini banyak kita temukan. Mungkin juga kadang diri kita sendiri? Ada yang hanya perlu kepada Allah pada saat ekonomi sulit, baru mengadu kepada-Nya. Tapi ketika kehidupan telah makmur, ia lupa kepada Allah. Seperti kisah Qarun di Al-Qur’an, kekayaannya telah membuat ia lupa. Bahkan ia mengatakan semua itu semata karena jerih payahnya sendiri. Demikian juga Fir’aun. Semula ia mengingkari Allah bahkan menganggap dirinya tuhan, akhirnya ia toh menjadi pengecut pada detik-detik akhir kehidupannya. Ditengah hempasan gelombang laut Merah, ia mencoba merengek dengan membenarkan Musa. Mungkin ia masih berharap bisa hidup. Tapi itu sia-sia. Tak ada gunanya taubat di kala nyawa sudah di kerongkongan.
Keiika mendapat musibah, saat sakit, saat ditinggal pergi keluarga tercinta, saat gagal ujian, saat hendak mencari pekerjaan, banyak orang yang berbondong-bondong mendekat kepada Allah. Tapi kedekatan itu hanya tumbuh sesaat lalu layu sebelum berkembang. Mereka itulah orang-orang yang dimaksud Allah dalam firman-Nya, “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan,” (Qs. Yunus: 12).
”Dan apabila kamu ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebagian dari pada kamu mempersekutukan Tuhan-Nya dengan (yang lain).” (Qs. An-Nahl: 53 - 54).
3. Merasa perlu, tapi bersikap jual mahal
Tipe ini dengan gamblang dicontohkan oleh orang-orang Bani Israil. Al-Qur’an berkali-kali menggambarkan karakter Bani Israil yang kadang merasa perlu kepada Allah, tapi pada saat yang sama ia enggan menampakkan keperluannya. Itu belum ditambah tabiatnya yang lain, yang suka mengkhianati dan membunuh para Rasul, mengakali hukum Allah, mengubah isi Taurat, menyukai riba, dan hal-hal kotor lain-nya.
Perhatikan misalnya, firman-firman Allah yang mengisahkan sikap mereka. Dalam sebuah dialog aqidah yang mengesalkan, mereka selalu menyebut Allah sebagai Tuhannya Musa. Ketika mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi betina, misalnya, mereka banyak sekali cerewetnya. Bermacam-macam hal ditanyakan. Tapi, sekali lagi, mereka selalu memposisikan Allah sebagai Tuhannya Musa. Lihat misalnya penggalan dialog itu, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami sapi betina apakah itu?” (Qs. Al-Baqarah; 68). Begitu seterusnya pada ayat-ayat berikutnya. Berkali-kali mereka menyebut Allah sebagai Tuhannya Musa. Dan bukannya mereka berkata, ”Tuhan kita”.
Begitupun, dalam kesempatan lain mereka tanpa malu menyuruh-nyuruh Musa untuk meminta Allah memenuhi permintaan Bani Israil itu. Sungguh memalukan. Perhatikan perkataan mereka “Hai Musa kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.” (Qs. Al-Baqarah: 61)
Hari-hari ini, tipe kedua ini banyak dipraktekkan oleh para politikus. Betapa banyak mereka yang mendekat-dekat kepada Islam, atau kepada kaum muslimin demi kelanggengan karir politik mereka. Memang, hanya Allah yang tahu isi hati mereka. Tapi sepanjang sejarah kekuasaan di negeri ini, sejak Orde Lama hingga Orde Baru, lalu sesudahnya dan sesudahnya, terlalu kenyang kita menyaksikan penguasa bertipe Bani Israil itu. Ironisnya, ada saja ulama yang diminta menjadi penyambung lidah antara para penguasa itu dengan Allah, dengan pesanan-pesanan fatwa-fatwa, juga dengan kaum muslimin, mungkin kalau bisa juga dengan Tuhan.
Dalam konteks pribadi, tak sedikit orang yang bertipe seperti itu. Mereka merasa perlu kepada Allah, tapi dengan setengah hati. Orang-orang munafik juga masuk dalam kategori ini. Di antara mereka ada yang selalu melakukan ‘tawar menawar’ dengan Allah, untuk setiap kebajikan sepele yang mereka lakukan. Dalam konteks inilah mengapa ‘nazar bersyarat’ itu tidak dianjurkan. Sebab, orang tidak merasa berkewajiban memenuhi nazarnya bila syaratnya tidak terkabulkan. Misalnya, "Saya bernazar untuk Allah akan bersedekah bila gaji saya naik.“
4. Merasa perlu, tapi merasa tidak mampu
Ini diterapkan oleh orang-orang jahiliyah. Itu pula yang mengantarkan mereka kepada kemusyrikan. Mereka meyakini adanya Allah, tapi tak pernah mampu mencapai pengetahuan yang benar tentang Allah. Lalu muncullah ilustrasi fisik tentang tuhan, berupa patung-patung atau segala kepercayaan musyrik lainnya. Karenanya, orang-orang jahiliyah yang menyembah berhala-berhala itu beralasan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
Ini tindakan salah, bahkan diharamkan. Dalam perkembangan kehidupan modern, tipe keempat ini juga banyak menimpa masyarakat. Bahkan bentuknya bermacam-macam. Ada juga yang beriman kepada dukun, patung, dan ramalan-ramalan. Banyak yang sehari-hari tenggelam dalam dosa, tapi mereka merasa tak berdaya untuk melawan, tak mampu untuk bangkit, meski kadang hatinya resah dan merasa berdosa. Ada yang menyikapi segalanya dengan masa bodoh. Tapi sebenarnya memendam gumpalan kekecewaan. Hatinya tidak pernah tenang.
5. Merasa perlu, dengan memadukan antara harapan dan kekhawatiran
Mereka ini tipe manusia yang sepenuh hati merasa perlu dan selalu bergantung kepada Allah. Sikap mereka seperti kata Sufyan bin ‘Uyainah, “Segala sesuatu bila kamu takuti, maka kamu akan menjauhinya. Kecuali takut kepada Allah. Takut kepada Allah justru kamu harus mendekatinya.”
Tipe terakhir inilah tipe yang paling benar. Dengan memadukan antara ‘pengharapan’ dan ‘kekhawatiran’. Artinya, sebagai seorang mukmin mereka bisa memainkan seni bergantung kepada Allah. Dan, seni itu terletak kepada keseimbangan aetara "mengharap rahmat-Nya" dengan “takut kepada azabnya." Setiap orang tahu karakter dan style diri mereka masing-masing. Bila mau jujur, setiap mereka akan tahu apa sebenarnya jalan keluar dari semua masalah yang ia hadapi. Bahkan, mereka yang terus mempelajari karakter dirinya, banyak yang hafal kapan hatinya gundah, dan tahu apa obatnya yang benar.
Orang tipe kelima ini bukan berarti kumpulan orang-orang ma’sum tanpa dosa. Mereka kadang salah. Tetapi mereka segera tahu bagaimana dan dengan apa membersihkan diri itu. Karenanya Allah memuji orang-orang seperti itu, ”Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Tipe kelima inilah yang harus kita pilih. Kita dituntut mengenali diri kita. Bila hati kita cenderung lengah, mengabaikan perintah-perintah Allah, maka yang harus dimunculkan adalah sisi “kekhawatiran kepada azab Allah." Dengan merenungi ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang neraka, misalnya. Atau dengan melakukan muhasabah, tafakkur, mengingat kematian, ziarah kubur, dan lain sebagainya. Di lain kesempatan, bila hati kita didominasi rasa takut yang berlebihan, seakan sudah tak bisa lagi berbuat baik, merasa tak mungkin lagi menjadi baik, merasa pintu taubat telah tertutup, maka sisi yang harus diangkat dan dibangkitkan adalah “rasa pengharapan” kepada ampunan dan rahmat Allah. Dengan membaca ayat-ayat Allah yang berisi pengampunan, bahwa Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, menerima taubat mereka. Atau dengan membaca hadits-hadits tentang keutamaan taubat, atau dengan membaca kisah-kisah orang-orang yang dulunya asyik dengan dunia kemungkaran lalu bisa kembali ke jalan Islam.
Zaman yang penuh gejolak dan fitnah seperti saat ini, semestinya mendorong kita untuk terus mendekat kepada Allah. Setiap saat, setiap keadaan, kala lapang atau sempit. Mari saling berpacu, mendekat lebih dekat kepada Allah, agar setiap saat kita selalu dalam bimbingan-Nya, agar kita senantiasa mendapat pertolongan-Nya. Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar
Dimohon dengan sangat comment-nya, ya :D Kritikan, cacian, makian, protes yang membangun sangat diharapkan demi kebahagiaan kita bersama.