Hari minggu lalu aku sedang sendirian di rumah. Asyik juga sih bisa bersih-bersih rumah. Maklum, baru pindahan jadi masih berantakan. Sekitar jam 10.00 siang, telponku berdering. Ternyata yang menelpon adalah Mbak Nani, temanku saat masih tinggal di Jakarta. Kalau tidak salah sudah hampir satu tahun kami tidak bertemu.
“Rae, apa kabar ?” tanya Mbak Nani dari seberang telpon.
“Baik banget, Mbak...udah lama nih nggak ketemu,” jawabku.
“Iya nih, jadi kangen. Siang ini aku mau mampir ke rumahmu. Ada di rumah, kan ?”
“Ada, Mbak. Maen aja ke sini, kebetulan aku juga nggak ada teman nih. Lagi pada pergi semua,” jawabku.
“OK, sampai ketemu satu jam lagi…”
Tepat jam 11.00 siang waktu Bogor, Mbak Nani datang membawa anak ketiganya yang berumur 1,5 tahun dan sedang lucu-lucunya. Kami pun saling bertukar kabar, berhaha-hihi saat saling mengingat masa-masa kami masih di Jakarta. Tiba-tiba, Mbak Nani terdiam dan mulai menangis.
“Waduh…ada apa nih? Kayaknya dari tadi ceritanya senang-senang aja deh. Kok bisa nangis gini sih?” aku bertanya-tanya dalam hati.
Aku jadi salah tingkah. Terus terang aku paling grogi kalau harus menghadapi orang yang sedang sedih. Takut salah bicara karena takut membuat dia tambah sedih. Mau melucu, takut membuatnya tersinggung kalau salah pilih topik. Hhh...susah nih. Akhirnya aku putuskan untuk mengambilkan tisu dan menjadi sandarannya sampai tangisan itu berhenti.
“Sebenarnya ada apa, Mbak?” tanyaku saat Mbak Nani sudah dapat menguasai dirinya kembali.
“Suamiku, selingkuh dengan partner bisnisnya, Rae” jawab Mbak Nani di sela-sela tangisannya.
What?! Aku jadi mual! Seingatku, hubungan Mbak Nani dengan Mas Daniel nggak ada masalah. Apalagi setelah kelahiran anak ketiganya, kemana-mana masih selalu berdua. Bahkan mereka menjadi “penasehat “ pranikah temen-temen di sekitar kami. Itu karena pernikahan mereka harmonis. Kemudian Mbak Nani mulai bercerita, “Saat hari ulang tahunku, Mas Daniel mengakui semuanya. Aku sendiri nggak tau sampai dia mengaku. Aku juga nggak nyangka dia begitu. Kesehariannya nggak berubah. Kamu pasti ingat Eko, teman bisnis suamiku yang sering datang ke rumah kami. Sekitar 6 bulan yang lalu, dia mengenalkan Mas Daniel ke perempuan itu untuk bermitra. Awalnya mereka hanya curhat-curhat biasa karena perempuan itu sedang ada masalah dengan pacarnya. Lama-lama mereka saling suka...dan terjadilah “semuanya". Mas Daniel menganggap itu suatu kesalahan dan menyesali perbuatannya. Tetapi perempuan itu terus menggodanya. Ya, namanya juga laki-laki, Rae. Kalo digoda ya tergoda juga…”
“Sekarang, masalahnya sudah selesai, Mbak?” tanyaku.
“Syukurlah, sudah, Rae. Setelah mendengar pengakuannya aku minta Mas Daniel membawa perempuan itu, dan kami bertemu bertiga. Aku minta dia menjauhi Mas Daniel. Sebenarnya perempuan itu (Mbak Nani masih tidak mampu menyebut namanya) akan menikah dengan pacarnya. Pacarnya juga mengetahui kejadian itu tetapi mau memaafkannya. Saat kami bertemu mereka punya rencana menikah, dan sekarang sudah menikah. Mas Daniel tidak berhubungan lagi dengan dia.” Mbak Nani terdiam lagi.
Lalu aku bertanya, “Apa yang Mbak rasakan saat mendengar pengakuan Mas Daniel?”
"Aduh, pertanyaan yang bodoh!" tegur hatiku, "Jangan-jangan tambah sedih nih…"
Tetapi ia menjawab, “ Hatiku hancur! Aku marah sekali! Aku nggak sangka Mas Daniel bisa mengkhianatiku. Kalau nggak inget anak-anakku, aku sudah minta cerai, Rae. Tapi aku kasihan sama mereka dan aku juga malu dengan keluargaku. Sampai habis badanku kurus begini karena mikirin masalah ini. Nggak ada yang tau, Rae. Aku malu. Aku harus selesaikan sendiri.”
Lalu ia melanjutkan perkataanya dengan bertanya, “Kamu mau tau nggak hadiah apa yang aku berikan pada Mas Daniel di hari ulang tahun perkawinan kami satu bulan yang lalu, Rae?”
“ Hadiah apa, Mbak?” tanyaku. “Empat tamparan! Tiga untuk anakku dan satu untukku sendiri! Aku tampar sekeras mungkin sampai dia terjatuh,” jawab Mbak Nani. Kami pun tertawa bersama.
“Hubungan kami tidak akan sama, Rae, tapi aku berusaha memaafkan masa Daniel. Dia juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Kami juga berencana pindah kota, mungkin kesini, Rae, ke Bekasi. Supaya jauh dari perempuan itu,” kata Mbak Nani.
Mbak Nani berusaha menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri. Aku menghormati keputusannya dan berharap keluarga mereka benar-benar keluar dari masalah ini. Aku pernah berdiskusi tentang pria berselingkuh dengan Papa dan Mas-ku. Mereka sepakat, bahwa perselingkuhan itu bagaikan merusak pagar ayu sang istri. Pada saat menikah, seorang istri akan menyerahkan seluruh jiwa dan raga, hati dan pikiran, hanya untuk suami dan keluarganya. Dan dalam urusan pria berselingkuh, apapun alasannya, maka istrilah yang paling merasakan sakitnya.
Komentar
Posting Komentar
Dimohon dengan sangat comment-nya, ya :D Kritikan, cacian, makian, protes yang membangun sangat diharapkan demi kebahagiaan kita bersama.